Raja Segala Raja

Sepertinya lebih mudah memahami kekuasaan Tuhan di zaman ketika kerajaan adalah bentuk pemerintahan yang paling masuk akal. Tuhan Maha Kuasa, dan pemerintahan-Nya jelas bukan demokrasi. Dia adalah Raja segala raja, bukan Presiden segala presiden. Dia juga tidak punya perdana menteri, hanya para malaikat yang sebenarnya tidak Dia butuhkan namun tetap diciptakan juga supaya manusia berpikir tentang kekuasaan-Nya.

Kalau raja bikin peraturan, rakyat taat. Kalau raja bikin keputusan, rakyat nurut. Kalau raja bikin kesalahan, tidak akan dilihat sebagai kesalahan. Pokoknya pasal pertama: raja selalu benar. Pasal kedua: jika raja melakukan kesalahan, lihat pasal pertama. Ini benar sekalipun raja bukan panitia ospek.

Tuhan–atau setidaknya Tuhanku–tidak dipilih, dan tidak harus bikin laporan pertanggungjawaban di hadapan dewan. Dia-lah yang Maha Mengadili, yang tak akan pernah diadili. Kalau dia memutuskan untuk mencabut nyawa seseorang yang sangat kamu cintai saat ini juga, kamu tidak boleh(baca:tidak bisa) protes. Kenapa? Karena Dia adalah yang Maha Berkehendak. Dia adalah satu-satunya yang berhak bersikap semena-mena. Kata para mahasiswa, “Hanya Tuhan yang boleh tindas kami, itupun kalau Dia mau.”

Menjadi manusia ber-Tuhan, aku pikir, adalah menyadari kesemena-menaan-Nya, dan berusaha mencintai kesemena-menaan itu. Dia bikin peraturan, kita taati. Dia beri kita rezeki, kita bersyukur. Dia ambil kembali rezeki itu, kita bersabar, bahkan kalau bisa tetap bersyukur. Dalam bahasa Latin, sikap ini disebut “amor fati”. Bahasa Arabnya, “ikhlas”.

[Review] Fractale: Dystopia Marxian dan Pertanyaan tentang Kebebasan

Warning: Spoilers ahead!

“Fractale is comprised of several trillion processors networked using 22nd century science. By embedding Fractale Terminal inside your body, and sending your life log periodically to the high-altitude hovering servers, everyone can receive an equal and basic income. One’s daily needs are guaranteed even if one does not work. It is a world without war and strife. Indeed, Fractale is a 22nd century man-made god.(Data antik: Ep1)

Anime ini bersetting di masa depan yang jauh, kurang-lebih satu milenium dari sekarang, ketika teknologi sudah demikian canggihnya sehingga nyaris seperti sihir. Manusia tidak perlu lagi bekerja. Semua orang terhubung ke dalam sistem Fractale melalui nanomachine yang ditanam ke dalam tubuh mereka, dan mengalami hidup dalam augmented reality. Seperti dalam film The Matrix, tapi alih-alih manusia dipaksa untuk tidur dan hidup di dalam virtual reality secara tak sadar, di sini tubuh manusia tetap bebas. Tidak ada paksaan untuk memanfaatkan Fractale, semua orang hidup di dalam Fractale karena itu lebih baik bagi mereka. Bumi[1] terlihat sangat lengang, dengan lansekap kebanyakan berupa padang rumput, dan satu-dua kota yang letaknya berjauhan. Tidak ada overpopulasi dan polusi seperti sekarang. Dalam cerita ini, manusia pada umumnya tidak suka hidup di rumah. Mereka tinggal di rumah mobil, mengembara, tak terikat dengan apapun atau siapapun, melakukan apa yang disukainya, sambil terus menerima penghidupan dari sistem Fractale.

Clain, tokoh utama anime ini, tinggal di sebuah rumah di tengah padang rumput, bersama kedua orang tuanya yang berwujud doppel. Doppel adalah istilah untuk makhluk hidup berbentuk data, yang hanya bisa hidup dalam sistem Fractale sebagai bagian dari augmented reality dan merupakan pengganti dari seseorang[2]. Doppel umumnya tak bisa disentuh manusia, karena hanya berbentuk data, dan hanya bisa dilihat dan didengar oleh mereka yang memiliki terminal Fractale, atau menggunakan kacamata khusus. Jadi, sebenarnya Clain tinggal sendirian. Dari percakapan Clain dan kedua orang tuanya, kita mendapati bahwa mereka membuat doppel mereka sendiri, namun dengan sengaja memutuskan untuk tidak tinggal bersama Clain. Tinggal bersama di bawah satu atap, menurut mereka, hanya mengekang kebebasan, dan merupakan tanda ketidakpercayaan. Seperti itulah konsep keluarga pada masa ini. Clain menyukai barang antik. Dan yang dimaksud dengan barang antik di sini adalah televisi, kamera digital, laptop, dan barang-barang keseharian kita saat ini. Untuk alasan yang sama pula ia tinggal di dalam rumah, tidak seperti orang-orang pada umumnya.

Suatu hari, Clain bertemu seorang gadis misterius bernama Phryne (Ejaan Jepang: Furyune). Ia menyelamatkannya dari kejaraan sekelompok orang, yang belakangan diketahui berasal dari organisasi bernama Lost Millennium, sebuah organisasi teroris yang ingin menghancurkan sistem Fractale. Kata mereka, Phryne adalah ‘kunci dunia’ (key of the world), yang memiliki peranan mahapenting dalam sistem Fractale. Setelah menghabiskan malam bersama Clain, Phryne pergi tanpa pesan, hanya meninggalkan bros yang setelah dianalisis ternyata berisi sebuah (atau seorang?) doppel bernama Nessa. Tidak seperti doppel lainnya, Nessa bisa disentuh, seolah memiliki tubuh sungguhan.

Mengetahui Nessa memiliki kaitan dengan Phryne, organisasi Lost Millennium berusaha menculiknya beserta Clain. Mereka membawa Clain dan Nessa ke desa Granitz, dimana orang-orang hidup tanpa bergantung pada Fractale. Di sana, Clain bertemu dengan Sunda, pemimpin organisasi Lost Millennium cabang Granitz. Menurut Sunda, Fractale telah merampas cara hidup manusia yang alamiah. Fractale membuat manusia bergantung padanya. Sistem tersebut, menurut Sunda, mulai runtuh. Banyak balon, yaitu server tempat manusia mengirimkan data mereka secara online, berjatuhan, mengakibatkan beberapa wilayah tidak lagi ter-cover oleh gelombang Fractale. Tujuan Lost Millennium adalah untuk mengembalikan manusia kepada kehidupannya yang alamiah, dan itu hanya bisa dilakukan dengan cara menghancurkan Fractale.

Clain dan Nessa

Kritik Kebudayaan ala Marxisme

“Prayer? Yeah, right. You’re just collecting my data.” (Clain: Ep.2)

Satu hal yang menarik dalam anime ini adalah sistem Fractale yang dibuat seperti agama. Setiap hari, setiap orang harus ‘berdoa’ menghadap ‘bintang’. Kegiatan berdoa itu, sebagaimana dikutip di atas, adalah sebuah bentuk maintentance, dan bintang itu adalah server yang mengumpulkan data dan mengirimkannya ke pusat sistem Fractale. Server sitem Fractale disebut kuil (temple). Coverage area sistem Fractale disebut berkah (blessing). Aparat (admin)-nya disebut pendeta (priest), dan memang berpakaian seperti pendeta suatu ordo magis. Teknologi Fractale sudah demikian maju hingga seperti sihir, baik secara tampilan maupun cara kerja.

Pada episode ke-3, Lost Millenium menyerang upacara Hoshi Matsuri (Star Festival). Apa itu Star Festival? tanya Sunda. Clain menjawab, itu adalah upacara pada malam hari ketika bintang-bintang berkumpul. Orang-orang, dipimpin oleh para pendeta, berdoa di bawahnya. Jika seseorang tidak menghadiri Star Festival, ia tidak akan menerima ‘perlindungan bintang-bintang’, misalnya doppel-mu tidak berfungsi jika kamu tidak datang.

Sunda memberikan sebuah kacamata khusus pada Clain, yang membuat Clain dapat melihat kenyataan yang sesungguhnya dari Star Festival. Ia melihat orang-orang berkumpul dan berdoa di bawah sebuah monumen yang disebut ‘Pohon Kehidupan’ (Tree of Life). Mata mereka terbelalak, mulut mereka setengah terbuka, tubuh mereka kejang-kejang, sementara pohon kehidupan dan ‘bintang-bintang’ di atasnya memancarkan cahaya. Orang-orang itu seperti berada di bawah pengaruh sihir, atau obat-obatan.

Star Festival, kata Sunda, pada dasarnya adalah update masal dari nanomachine (terminal) Fractale yang terpasang di tubuh manusia. Dia adalah ritual pencucian otak, agar manusia lupa terhadap pertanyaan-pertanyaan penting, yang seharusnya menggiringnya kepada hakikat hidup yang sesungguhnya. Dengan pencucian otak seperti itu, orang-orang jadi bisa menerima hidup apa adanya, pasrah, dan bergantung pada sistem Fractale.

Ini mengingatkan kita pada kritik Marx atas agama. Agama, menurutnya, adalah ‘candu rakyat’ (opium of the mass). Ini jelas terlihat dari reaksi orang-orang saat Star Festival berlangsung. Agama membuat orang tenang, menerima takdir, dan pada akhirya menerima penindasan dengan sukarela, bukannya memperjuangkan kebebasan dan kedaulatan mereka atas nasib mereka sendiri. Dalam istilah Marxis, agama adalah alat kelas yang berkuasa untuk mengendalikan kelas yang tertindas. Para pendeta Fractale menyebut kelompok Lost Millennium sebagai “heretics”, yang kurang lebih artinya “kafir” atau “fasik”, yang menolak ‘berkah’ Fractale dan melakukan tindakan anarkis.

Star Festival

Lebih jauh, Marx juga bicara soal ideologi. Ideologi, menurut Marx, adalah sebuah ‘kesadaran palsu’ (false consciousness). Fractale, sebagai sebuah sistem kehidupan yang diciptakan manusia, merupakan alegori langsung dari ideologi. Bahkan secara metaforis, Fractale sebagai augmented reality adalah ‘cara melihat dunia’. Tanpanya, dunia tidak bisa dilihat, dan dialami. Dengan kata lain, dunia menjadi tidak ada. Ideologi bersifat integral terhadap manusia, yang dimetaforakan dengan terminal Fractale yang diimplant ke dalam tubuh. Artinya, dia ada ‘di dalam’ manusia. Sebagai sebuah kesadaran(palsu), ideologi dapat menggerakan manusia untuk mengembangkan dan melindunginya. Fractale tidak hanya memiliki pendeta yang mengarahkan para ‘jemaat’-nya untuk ‘berdoa’, tapi juga tentara, kaum militan yang berguna untuk melindungi Fractale dan para ‘user’-nya.

Fractale memiliki sejumlah wilayah (coverage area gelombang Fractale), populasi manusia, dan sistem kontrol. Dengan demikian, Fractale secara kasar dapat dikatakan sebagai “negara” (state). Pemikir Marxis, Louis Althusser, mengatakan bahwa negara memiliki dua macam ‘aparat’ yang berfungsi mengendalikan orang-orang di dalamnya. Pertama adalah repressive state apparatus dan ideological state apparatus. Yang pertama adalah polisi, tentara, dan semacamnya, sementara yang kedua adalah ideologi, pendidikan, dan agama. Fractale jelas memiliki keduanya, dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri: menyejahterakan kehidupan anggota-anggotanya. Dalam praktiknya, hal tersebut termasuk memburu dan membunuhi anggota kelompok Lost Millennium.

Jika kita melihat bagaimana semua kebutuhan manusia tercukupi dengan Fractale tanpa bekerja, sistem tersebut tidak kurang dari sebuah utopia komunisme. Kebutuhan semua orang tercukupi, tidak ada perebutan atas sumber daya alam, dan tidak ada eksploitasi tenaga kerja. Namun, melihat bagaimana orang-orang begitu tergantung kepada sistem, Fractale lebih tepat disebut dystopia. Kenyataannya, dalam serial ini, sistem Fractale mulai rubuh. Sebagian (besar?) dari dunia tidak lagi tercakup dalam coverage area jaringan Fractale. Orang-orang yang hidup di area yang tak lagi tercakup di dalam jaringan tersebut menjadi putus asa, karena terbiasa hidup di dalam dunia Fractale yang serba indah dan serba mudah. Mereka mengembara mencari zona aktif Fractale dalam keadaan yang menyedihkan.

Ambiguitas Moral

I should make something clear before you go. To be honest, I don’t really know how the world should be either. We’ve simply followed the path we believe in. I don’t regret that.” (Sunda: Ep.11)

Meskipun pada awalnya anime ini mengritik realitas palsu yang ditawarkan Fractale, seiring dengan berjalannya cerita, pemisahan antara pihak baikn/jahat dan bena/salah semakin kabur. Sistem Fractale, dalam pengertian tertentu, memang ‘menipu’ manusia. Di sisi lain, Lost Millennium berusaha membebaskan manusia menuju cara hidupnya yang alamiah. Dalam praktiknya, metode Lost Millennium sangat radikal dan anarkis. Sunda dkk. tak segan-segan membunuh para pendeta dan jemaat Fractale untuk menghentikan Star Festival.

Hal yang tidak kurang keji-nya juga dilakukan oleh Dias, pemimpin Lost Millennium cabang Alabaster. Ia menawarkan makanan dan tempat tinggal gratis bagi para ‘korban’ runtuhnya sistem Fractale. Ia juga memberikan ‘vaksin’ gratis agar mereka tidak terkena penyakit. Tapi ternyata ‘vaksin’ tersebut adalah penipuan. Sebenarnya ia adalah operasi kecil untuk mengangkat terminal Fractale dari dalam tubuh seseorang. Kedok ini terbongkar ketika salah seorang dari para korban itu berhasil menangkap gelombang Fractale melalui antena dan memancarkannya. ‘Vaksinasi’ tengah berlangsung. Walhasil, sebagian orang melihat ‘berkah Fractale’, sementara yang lain kebingungan mengapa mereka tidak bisa melihat apa yang orang lain lihat. Dengan dingin, Dias memberitahukan perihal vaksinasi yang merupakan ‘one-way ticket’ keluar dari Fractale itu. Seorang laki-laki yang baru saja divaksinasi geram bukan kepalang, namun Dias hanya menanggapinya dengan menawarkannya untuk berperang bersamanya untuk menghanruckan sistem Fractale. Seolah tindakannya kurang kejam, kelompok Dias membunuhi siapapun yang berusaha lari.

Bagaimanakah kita akan membenarkan tindakan Dias? Dias pada dasarnya tidak memberikan pilihan bagi orang-orang yang, menurut istilahnya sendiri, ‘dikhianati oleh Fractale’ tersebut. Ia bahkan menipu mereka, dan memaksa mereka bertempur dalam perasaan kesal dan pahit. Padahal yang mereka inginkan adalah kembali ke dalam Fractale.

Bagaimana pula kita akan memandang orang-orang yang berusaha melindungi Fractale? Pada episode 7, Clain dan Nessa terdampar di Xanadu, kota dimana Fractale masih berfungsi secara penuh[3]. Di sana, ia ‘diselamatkan’ oleh seseorang, atau tepatnya seorang doppel, bernama Meegan hanya untuk dijebak dan diserahkan pada para pendeta Fractale karena status mereka adalah buronan.  Collin, kawan Meegan, hendak membunuh Clain ketika ia berusaha kabur. Ia hidup dengan alat penopang kehidupan menempel di sekujur tubuhnya. Ia hanya dapat hidup melalui sistem Fractale. Apakah ia punya pilihan lain? Ia jelas tak akan bertahan hidup jika sistem Fractale runtuh.

Dapatkah kita, sebagai penonton, berpihak pada Fractale? Sangat mungkin, saya rasa. Terutama jika kita tak masalah dengan mengikat diri pada agama dan cara hidup tertentu. Bukankah itu hakikat sistem Fractale? Tidak ada paksaan dalam sistem ini. Selama sistem bekerja dengan baik, selama itu pula orang-orang di dalamnya sejahtera.

Bagaimana dengan ritual yang seperti candu itu? Ritual tersebut tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang jelek. Ia adalah konsekuensi logis dari sistem Fractale. Analogi yang baik untuk ini adalah komputer kita, yang perlu di-update secara berkala agar dapat menjalankan program dan software mutakhir.

Tapi, justru di situlah poinnya. Sebagian dari kritik atas kapitalisme adalah ia menjebak manusia ke dalam sirkularitas konsumerisme. Manusia menjadi tak memiliki pilihan lain selain menjadi konsumen. Ia menciptakan kebutuhan palsu bagi manusia, agar orang-orang terus berbelanja, terus menjadi konsumen, sehingga sistem itu sendiri dapat terus berjalan. Kapitalisme, dengan demikian, adalah ‘mesin hasrat’ (desiring machine). Apakah Fractale dapat dianalogikan demikian? Sepertinya begitu. Fractale melemahkan manusia, membuat manusia menjadi individualistis, membuat manusia ketergantungan. Fractale meniadakan kehidupan di luar sistem tersebut. Dengan demikian, apakah pilihan mereka yang lebih menghendaki keberlangsungan Fractale dapat dikatakan sebagai pilihan yang ‘bebas’?

Ilusi kota dari Fractale

Dilema moral semakin mengemuka menjelang akhir serial ini. Suatu waktu, Clain dibawa ke laboratorium Fractale. Di sana, ia menemukan gadis yang sangat mirip dengan Nessa. Kemudian, ia menemukan bahwa gadis tersebut adalah kloning dari Phryne. Nessa adalah wujud Phryne ketika berusia 10 tahun. Phryne dikloning agar nantinya ia dapat menjadi ‘kunci’ untuk me-reboot Fractale dan menyelamatkan sistem tersebut dari kehancuran. Phryne yang dikenal Clain adalah kloning yang berhasil, karena itulah para pendeta Fractale mengejarnya.

Di laboratorium itu, Clain menyaksikan kloning-kloning yang gagal dihancurkan. Adakah kloning-kloning itu merasa sedih? Merasa sakit? Adakah mereka, sebagai kloning, dapat disamakan dengan manusia? Haruskah kita melihat kloning-kloning itu sebagai manusia? Clain berpendapat bahwa setiap kloning tersebut adalah unik, dan karenanya harus diperlakukan sebagaimana manusia. Namun mereka diciptakan untuk satu tujuan yang mereduksi mereka dari kemanusiaannya: sebagai kunci untuk me-reboot sistem Fractale. Mereka adalah ‘tumbal’ yang dibutuhkan untuk keberlangsungan sistem Fractale.

Pada akhirnya, Phryne memutuskan untuk kembali menjadi ‘kunci’ dan me-reboot sistem Fractale. Apakah ini berarti Lost Millennium gagal? Di akhir cerita, dkatakan bahwa tujuan Lost Millennium bukanlah untuk menghancurkan sistem Fractale, melainkan untuk membuat manusia kembali bebas dan hidup sebagaimana manusia seharusnya. Di bagian Epilog, dikisahkan bahwa reboot tersebut adalah yang terakhir, karena kuil Fractale telah dihancurkan. Orang-orang mulai belajar bercocok tanam. Peradaban manusia kembali ke zaman agraria, sebagai transisi untuk melepaskan ketergantungan dari Fractale, atau setidaknya begitulah tafsir saya atas ending serial ini.

Kesimpulan: Perjuangan Manusia untuk Kebebasan dan Kebahagiaan

Seperti dikutip di atas, Sunda juga sebenarnya tidak tahu bagaimana dunia ini seharusnya. Ia hanya mengikuti jalan yang diyakininya. Ya, meskipun itu artinya ia harus membunuh sekian banyak orang. Di sisi lain, para pendukung Fractale juga sama. Mereka memperjuangkan cara hidup yang mereka yakini benar. Masing-masing dari mereka percaya bahwa apa cara merekalah yang dapat memberikan kebahagiaan bagi manusia.

Lost Millennium memperjuangkan kebebasan. Tapi, apa artinya kebebasan? Apakah mereka yang memilih Fractale tidak dapat dikatakan bebas? Apakah kebebasan juga mencakup kebebasan untuk terikat? Bukankah Lost Millennium juga sebenarnya mengikat diri mereka pada gagasan tentang kebebasan?

Bagaimana dengan sistem Fractale? Fractale memberikan kesejahteraan bagi manusia, yang pada gilirannya membuat manusia menjadi tidak bebas? Apakah kesejahteraan tanpa kebebasan adalah kesejahteraan yang palsu? Kebahagiaan yang palsu? Apakah pada suatu titik kita memang harus memilih salah satu, antara kebebasan atau kebahagiaan? Apakah konflik antara sistem kepercayaan yang berbeda secara diametral—seperti Lost Millennium dan Fractale—memang sebuah keniscayaan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa menghantui kita sebagai manusia. Jawabannya tak akan mudah didapatkan. Barangkali hal-hal seperti kebebasan, kebahagiaan, dan kebenaran memang terlalu besar dan terlalu paradoksal untuk dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia yang terbatas. Yang bisa kita lakukan adalah berpegang pada keyakinan dan memperjuangkannya dengan penuh keberanian. Hanya dengan cara itu, mungkin, kita dapat menemukan makna hidup kita sebagai manusia.


[1] Sebenarnya tidak dijelaskan apakah anime ini ber-setting di Bumi atau alternate universe, tapi kita dapat mengasumsikannya sebagai Bumi.

[2] Istilah doppel nampaknya diambil dari kata doppelganger, yang berarti “kembaran” atau “tiruan” (double) yang sangat mirip dari seseorang.

[3] Xanadu sendiri berarti “surga” (paradise), sebuah simbolisme yang sangat tepat untuk kota ini.

Konsep penulisan cerpen “Bertemu Malaikat Maut” dan “Membunuh Seekor Naga”

“Yang paling dekat adalah kematian.” –Abu Hamid Al-Ghazali.

Dua post sebelum esai ini berbentuk cerpen. Kedua cerpen tersebut memiliki beberapa kesamaan. Keduanya ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Sastra, sama-sama menggunakan sudut pandang akuan, dan sama-sama bertemakan kematian.

Kematian adalah bagian dari kehidupan. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Tidak bisa tidak. Karena itu, tidak lengkap mempertanyakan kehidupan tanpa mempertanyakan kematian. Menentukan alasan untuk mati, boleh jadi lebih penting ketimbang menentukan alasan untuk hidup.

Pada “Bertemu Malaikat Maut”, saya membayangkan menjadi seorang mahasiswa yang bertemu dengan pria misterius yang mengaku sebagai malaikat maut. Segala keraguan hilang ketika apa yang dikatakan pria misterius itu menjadi kenyataan. Panik, takut, dan depresi, sang tokoh utama berusaha mempesiapkan diri untuk mati, meski pada akhirnya takut juga. Dengan cara seperti itu, saya ingin mengambil sudut pandang orang biasa dalam menghadapi kematian.

Pada bagian akhir, saya membuat ending yang terbuka untuk berbagai interpretasi. Saya perkirakan setidaknya akan ada tiga kemungkinan penafsiran. Pertama, yang membunuh Yudi benar-benar sang Malaikat Maut. Kedua, malaikat maut itu sebenarnya adalah psikopat, dan kasus kematian Yudi murni pembunuhan manusia oleh manusia. Ketiga, malaikat maut itu sebenarnya hanya produk imajinasi Yudi, atau Yudi menderita skizofrenia, dan kematiannya adalah bunuh diri. Penafsiran yang manapun, bagi saya tidak masalah. Tidak ada yang salah sekaligus tidak ada yang benar.

Pada cerpen “Membunuh Seekor Naga”, saya berusaha mempertanyakan, apakah nyawa manusia nilainya lebih tinggi ketimbang nyawa makhluk lain? Dalam kasus ini, makhluk itu adalah seekor naga yang langka, kalau bukan satu-satunya yang tersisa.

Tokoh gadis penjaga sarang naga kiranya bisa menjadi personifikasi dari organisasi PETA ataupun pilihan hidup untuk menjadi vegetarian. Keduanya, sejauh yang saya amati, juga berangkat dari pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang mendorong terciptanya cerpen ini. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa memungkiri adanya hukum alam, dimana untuk bertahan hidup adakalanya kita perlu membunuh makhluk lain.

Akhir kedua cerpen ini sengaja dibuat agak menggantung untuk memungkinkan berbagai penafsiran. Ada kesenangan tersendiri membiarkan sebuah cerita menggantung karena memberikan kesan misterius. Selain itu, bisa ya, bisa tidak, ketidakselesaian cerita adalah salah satu ciri postmodernisme, semangat zaman ini.

Bertemu Malaikat Maut

Aku bertemu Malaikat Maut. Bayangkan betapa kagetnya aku ketika ia tiba-tiba muncul di hadapanku ketika aku sedang membaca diktat kuliah di kamar kos. Begitu terkejutnya diriku hingga aku bahkan tak sempat berteriak ‘Wuaa!!’ atau semacamnya ketika sesosok laki-laki berdiri di satu meter di depanku. Aku hanya bisa tersentak hingga diktat kuliah di tanganku terjatuh ke atas lantai.

“Selamat malam,” sapanya.

“Si-siapa kamu?”

“Aku Malaikat Maut.”

“Hah?”

Pembicaraan yang aneh sekali. Di kamar kos yang terkunci rapat, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mengaku sebagai Malaikat Maut.

“Aku datang untuk memberitahumu waktu kematianmu,” ujarnya.

“Hah?” Aku benar-benar tak mengerti, hanya bisa terperangah dan memperhatikan laki-laki di hadapanku itu. Pria yang mengaku Malaikat Maut itu terlihat seperti laki-laki berusia tiga puluh tahunan. Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Selain kemejanya, semua yang dikenakannya serba hitam, termasuk dasi dan sepatunya. Sekilas ia terlihat seperti seorang eksekutif muda, atau tokoh film Men In Black, minus kacamata hitam.

Aku melirik ke arah pintu kamar. Kuncinya menggantung, dan aku ingat aku baru saja menguncinya beberapa saat yang lalu. Aku melirik ke jendela. Bukan hanya jendela itu terkunci, tapi juga teralisnya hanya mungkin dilewati seekor kucing atau yang lebih kecil dari itu. Dan kamarku ada di lantai dua.

Seolah membaca pikiranku, pria itu berkata, “Kamu ingin tahu aku masuk darimana?”

“Eh…?”

Aku tak belum sempat menjawab ketika ia mengaskan tentang dirinya, “Aku Malaikat Maut, tidak perlu masuk lewat pintu,” ujarnya sambil tersenyum.

“Aku di sini untuk memberitahumu waktu kematianmu,” kemudian ia mengeluarkan semacam catatan dari saku jasnya. “Yudhistira Harimurti bin Bambang Prakoso…,” ia menyebut namaku. “…waktu kematianmu…,” katanya sambil membolak-balik halaman buku kecil di tangannya, “…17 Desember 2012, pukul 15:22. Tiga hari lagi.”

“Se-sebentar…!” sanggahku.

“Apa?”

“Anda ini siapa sih? Tahu-tahu masuk, nggak tahu dari mana, ngaku-ngaku Malaikat Maut, terus ngasih tahu saya akan mati tiga hari lagi. Anda disuruh siapa buat ngerjain saya? Anton? Irfan? Ridho?”

“Kamu tidak percaya?”

“Nggak.”

“Sama sekali?”

“Sama sekali.”

Ia membuka buku kecilnya sekali lagi, kemudian berkata, “Suciwati binti Hindun, pemilik rumah kos ini, akan meninggal dunia karena serangan jantung besok pagi pukul delapan lewat dua belas menit.”

“Hah?”

“Orang-orang akan membawanya ke rumah sakit, tapi tidak akan sempat.”

Aku tidak tahu harus bilang apa menanggapi lelucon yang tidak lucu ini.

“Besok saya akan datang lagi,” ujarnya sambil menutup buku ‘catatan kematian’ itu dan memasukkannya ke saku jasnya.

Tok… tok… tok…! Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku menoleh ke arah pintu. Begitu aku memalingkan kepalaku lagi, pria itu sudah tidak ada.

Aku merinding.

“Yudi…!” panggil suara dari balik pintu itu. Itu suara Bu Suci. Aku segera membuka pintu.

“Kenapa, Bu?”

“Kamu…,” ia bertanya sambil menatapku dalam-dalam. Apakah ia mendengar pembicaraanku dengan ‘Malaikat Maut’ barusan? Menghadapi orang yang kamu mendengar kabar bahwa ia akan mati besok pagi membuatmu gugup. Tapi kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “…belum bayar kos kan?”

Aku menghela nafas lega. Aku memperhatikan pemilik rumah kosku ini. Usianya sudah paruh baya, keriput terlihat di pipi dan sudut matanya, juga di keningnya. Apakah rambutnya sudah beruban? Aku tidak tahu, karena ia selalu terlihat mengenakan jilbab ringkas khas ibu-ibu. Yang pasti ia selalu nampak segar bugar dan bersemangat. Ia selalu bangun lebih dulu sebelum para pembantu rumah kos ini bangun, memasak, mencuci, dan menyapu. Ia sering terlihat bekerja lebih keras dibanding pembantunya sendiri.

“Heh, kok bengong?” Bu Suci membangunkan lamunanku.

“Eh, uh… iya. Besok ya bu. Belum ke ATM nih.”

“Ya sudah, jangan telat ya. Inget, lewat tanggal 10 kena denda. Tapi nggak apa-apa sih kalo kamu mau sengaja bayar lebih. Hehehe…”

“Ehehehe…,” aku tertawa canggung. Sulit untuk tertawa mendengar kelakar dari orang yang kamu tahu akan meninggal dunia beberapa belas jam lagi.

“Ngomong-ngomong, Bu…,”

“Ya?”

“Ibu… sehat-sehat aja kan?”

Bu Suci menatapku seakan aku orang aneh. Hampir tiga tahun aku tinggal di sini, baru pertama kali ia mendengar aku bertanya kabar.

“Yang nggak sehat itu kamu, diajak ngomong malah bengong. Hahaha…”

“Ahahaha…,” lagi-lagi aku tertawa canggung.

“Sudah ah, mau nagihin yang lain.”

“Oh, iya. Oke sip, Bu.”

Bu Suci melangkah pergi. Aku memperhatikannya dari jauh sambil merenungi kata-kata ‘Malaikat Maut’ tadi. Aku tidak ingin percaya, tapi bagaimana kalau orang itu benar? Bagaimana kalau ia benar-benar Malaikat Maut? Ia datang dan pergi dengan cara yang ajaib seperti itu. Kalau aku tidak sedang berhalusinasi, apa lagi penjelasannya?

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan kejadian tadi.  Aku baru bisa terlelap setelah subuh.

Aku bangun ketika matahari mulai meninggi. Aku meloncat dari kasur dan berlari ke luar kamar, kemudian ke tangga, turun ke lantai satu. Tanpa sadar, aku berteriak, “Bu Suci!”

Semua mata tertuju padaku. Anton yang sedang menyuap nasi, berhenti mengunyah, matanya menatapku heran. Irfan yang sedang membaca buku juga berhenti membaca dan menatapku dengan tatapan yang sama herannya dengan Anton. Bu Suci tak kalah kagetnya. Tangannya yang sedang menumis sayuran berhenti sejenak. Ia menatapku dengan ekspresi bingung.

“Kenapa, Yud?” tanya Bu Suci. Suasanya menjadi sangat canggung.

“Euh… uangnya… nanti sore aja ya,” ujarku mencoba mencairkan suasana.

“Oh, santai aja… Sarapan dulu, Yud!” Agaknya aku berhasil. Anton dan Irfan melanjutkan apa yang sedang mereka kerjakan tanpa berkata apa-apa.

Aku melihat jam dinding. Pukul delapan lewat lima belas menit. ‘Jam kematian’ yang dijanjikan pria misterius semalam sudah lewat. Tidak terjadi apa-apa. Apakah yang semalam hanya orang iseng? Atau aku hanya mimpi?

Ah, sudahlah. Aku sudah terlambat kuliah pagi. Aku terpaksa melewatkan sarapan dan bergegas pergi ke kampus.

*****

Tepat selepas kuliah, ponselku berdering. Nama “Anton_Jeprut” muncul di layar. Perasaanku tidak enak, dan semakin tidak enak ketika Anton memintaku segera pulang ke kosan dengan suara yang seperti memendam sesuatu. Aku tak banyak bertanya dan segera mengiyakan.Hatiku tak karuan. Aku takut apa yang dikatakan pria misterius semalam benar-benar terjadi.

Jantungku serasa turun tiga senti ketika kulihat ada bendera kuning di depan pintu rumah kosku. Orang-orang berkerumun. Doa-doa dibacakan. Suara isak tangis terdengar di antara riuh rendah. Aku tak perlu diberi tahu siapa yang meninggal hari itu.

Tubuhku gemetar. Irfan menepuk pundakku dan menatapku tanpa bicara apa-apa. Ia memberiku segelas air putih. Sambil gemetar kuminum air itu. Air putih terberat yang pernah masuk ke dalam kerongkonganku.

Lututku lemas. Dengan langkah kaki yang masih gemetar aku masuk ke dalam kamar. Aku merangkak ke ujung tempat tidur, kemudian meringkuk di sana. Aku bisa melihat wajahku di dalam cermin yang menempel di lemari baju. Pucat pasi.

Betapa tidak. Malaikat Maut datang kepadaku, memberi tahu kematian pemilik rumah kosku dan apa yang dikatakannya sungguh-sungguh terjadi. Berarti, apa yang dikatakannya tentang kematianku juga akan terjadi. Aku akan mati besok sore.

Aku akan mati.

Besok sore.

Aku.

Akan.

Mati.

Besok.

Sore.

Aku takut setengah mati. Barangkali kata itu sekarang artinya sudah menjadi harfiah, mengingat betapa dekatnya aku dengan kematian. Seluruh tenaga di tubuhku lenyap. Aku bahkan tak sanggup menangis. Hanya ketakutan luar biasa menyelimutiku.

Tiba-tiba, terdengar suara yang tak asing. “Bagaimana?” tanya suara itu.

Aku menoleh dan mendapati sang Malaikat Maut berdiri di sudut kamarku.

“Jam di dapur itu dimajukan sepuluh menit,” ujarnya. Ia menjelaskan mengapa Bu Suci masih hidup ketika aku menemuinya tadi pagi.

“Beneran ya?” tanyaku. Aku tak ingin percaya. Aku masih ingin hidup. Terlalu banyak yang belum aku lakukan dalam hidup ini. Terlalu banyak kesalahan yang kuperbuat pada orang lain. Terlalu sering aku mengecewakan orang tuaku.

“Kamu sudah lihat sendiri buktinya, kan?” suaranya terdengar begitu santai. Pastinya karena ia adalah Malaikat Maut. ia tidak merasakan ketakutan seperti manusia.

“Aku belum siap.”

“Kematian tidak pernah menunggu.”

*****

Hari itu, aku tak sanggup makan. Lebih tepatnya, aku tak ingin makan. Lapar tidak lagi terasa ketika kamu tahu kamu akan mati dalam beberapa puluh jam.

Sebelum Malaikat Maut itu pergi, ia memberiku nasihat. Ia bilang, ‘Angan-angan manusia terlalu panjang dibandingkan usianya’. Oh, betapa ia benar. Aku tak sanggup lagi bermimpi tentang masa depanku. Di hadapan kematian, cita-citaku menjadi arsitek hilang bagai debu ditiup angin. Di hadapan kematian, segalanya runtuh, yang tersisa hanyalah apa yang benar-benar penting.

Adalah kata-kata terakhir sang Malaikat Maut yang menjadi satu-satunya sumber energiku. Ia bilang, ‘Kali selanjutnya kita bertemu, adalah saat kematianmu. Kamu punya dua puluh tujuh jam. Manfaatkanlah dengan baik’.

Lantas, bagaimana aku memanfaatkan dua puluh tujuh jam terakhir dalam hidupku?

Pertama-tama, aku sholat. Aku ingin membayar semua sholat yang kutinggalkan. Aku pernah mendengar dari guru agamaku, sholat yang ditinggalkan dengan sengaja wajib dibayar di lain waktu. Bodohnya aku menunda-nunda hingga sekarang.

Aku sholat subuh, dzuhur, asar, maghrib, isya, kemudian subuh lagi. Begitu seterusnya hingga malam tiba. Di hadapan kematian, seseorang bisa jadi sangat religius, melebihi seseorang yang baru pindah agama.

Entah sudah berapa banyak sholat yang kutinggalkan. Kukerjakan saja sekuatnya. Hingga pada sholat entah keberapa puluh, aku ambruk. Aku berusaha berdiri, tapi aku ambruk lagi. Pandanganku nanar. Aku jatuh pingsan.

Aku dibangunkan oleh adzan subuh. Badanku masih lemas, tapi keinginanku untuk pergi ke masjid membuatku berdiri. Sholat subuh terakhirku, kataku kepada diriku sendiri dalam hati. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kekhusyukan sholatku saat itu.

Seusai sholat, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku masih punya hutang pada Bu Suci. Aku tahu aku akan menyusulnya sebentar lagi. Tapi urusan bayar kos adalah hutang di dunia, dan aku tak ingin bawa-bawa hutang ke akhirat. Kabarnya, urusan seseorang ‘di sana’ bisa rumit jika mati meninggalkan hutang yang belum terbayar.

Maka jadilah aku pergi ke ATM, mengambil semua uang yang kupunya. Kumasukkan uang kosku ke dalam amplop. Kutitipkan kepada Anton. Ia terheran-heran dan bertanya, mengapa tidak hari lain saja. Aku bilang aku mau pergi. Ia tak paham, tapi amanah itu diembannya juga.

Waktuku kurang dari sembilan jam lagi. Kubongkar kamarku, kucari barang-barang pinjaman yang masih tersisa. Kuambil kamera digital milik Oscar yang kupinjam untuk dokumentasi Wisuda seminggu lalu. Kubawa buku biografi Frank Loyld Wright milik Widya. Kunyalakan sepeda motor dan kukenakan helm yang kupinjam dari Tyo. Aku akan mengembalikan barang-barang ini.

Aku memacu motorku di jalanan yang lengang. Biasanya aku tak suka ngebut, tapi kali ini berbeda. Aku tahu aku tak akan mati di sini, jadi kupuas-puaskan saja ngebut di jalanan. Kunikmati hembusan angin jalanan di tubuhku untuk terakhir kalinya. Untuk pertama kali sekaligus yang terakhir kalinya, aku paham perasaan orang yang suka ngebut di jalan. Aku tak pernah merasa sehidup ini sebelumnya. Di hadapan kematian, semua terasa luar biasa.

Setelah mengembalikan barang-barang pinjaman, terbesit keinginan untuk minta maaf kepada orang-orang yang pernah kusakiti. Aku hanya punya kurang dari enam jam untuk melakukan itu semua. Aku menepi di atas jembatan layang. Dari sana, aku mulai menelepon temanku satu per satu.

Aku menelepon Ruslan, yang aku pernah menghilangkan satu dari koleksi komik Tin-Tin kesayangannya. Aku menelepon Abdi, yang hubunganku dengannya jadi renggang sejak aku mengerjainya secara kelewatan. Aku menelepon Nina, yang pernah kucemarkan namanya karena aku menulis aibnya di internet. Kemudian, aku menelepon teman-temanku yang lain. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk meminta maaf lewat telepon.

Terakhir, aku menelepon orang tuaku.

“Halo?”

“Mama ada, dek?”

“Mas Yudi ya? Sebentar… Mamaah…! Mas Yudi nih…!”

“Halo, Ma?”

“Kenapa, Yud?”

Aku terdiam sejenak.

“Halo? Yud?”

“Mama… Yudi… mau minta maaf. Selama ini Yudi udah sering bikin Mama kecewa. Yudi gak bisa kasih apa-apa buat Mama. Yudi belum bisa bikin Mama bangga. Yudi…,” air mataku mulai menetes di pipi.

“Kamu kenapa, sayang?”

“Gak apa-apa…,” kataku sambil terisak. Ah, bahkan di saat-saat terakhir aku masih berbohong, bodoh sekali. “Makasih ya, Ma. Yudi sayang Mama,” itulah kata-kata terakhirku kepada ibuku. Aku abaikan suaranya yang memanggil-manggil namaku dari balik telepon. Kututup teleponnya, kumatikan ponselku, dan kulemparkan dari atas jembatan layang. Aku melihatnya jatuh dan terlindas beberapa mobil yang lewat di bawah sana.

Aku kembali ke kamar kosku. Tidak sampai satu jam lagi, Malaikat Maut akan datang mencabut nyawaku. Aku berusaha meyakinkan diri, tapi siapakah yang siap menghadapi kematian yang ada tepat di depan mata? Inikah yang dirasakan para prajurit di medan perang, yang tetap menerjang meskipun itu berarti kematian yang pasti?

Aku tak bisa menyembunyikan ketakutanku. Hawa dingin menjalar ke tengukku, membuatku menggigil. Tak lama kemudian, Malaikat Maut datang.

Seperti sebelumnya, ia terlihat santai meski mengenakan setelan jas lengkap.

“Sudah siap?” Tanyanya.

“Mana ada orang siap menghadapi kematian,” jawabku.

“Kamu tidak ingin menyatakan cinta pada seseorang terlebih dahulu?”

“Cinta…?” aku baru sadar, aku tak pernah memikirkannya. Aku berpikir sejenak. Tak ada satupun nama yang terlintas di kepala. “Tidak,” lanjutku singkat.

Keheningan menyelimuti udara. Rasanya jarum jam berjalan lebih lambat dari biasanya. Malaikat Maut memecah keheningan dengan berkata, “Sudah waktunya.”

Ia mengeluarkan sepucuk pistol dari balik jasnya.

“Pistol? Aku pikir…”

“Kamu pikir aku akan menggunakan sabit besar? Kamu terlalu banyak nonton film.”

Malaikat Maut mendekat kepadaku dan dengan perlahan meletakkan moncong pistol itu di dahiku. Aku bisa merasakan besi yang dingin di kulitku. Pistol itu nampak begitu nyata. Terlalu nyata. Aku pikir aku akan mengalami pengalaman yang lebih terasa magis, tapi semua ini terasa begitu… jasmaniah.

Aku tak bisa menyembunyikan ketakutanku. Seluruh tubuhku bergetar. Keringat dingin mengucur. Aku memejamkan mata, berusaha mengucap doa. Kemudian….

Dor!

*****

Di suatu perumahan, terlihat orang-orang berkumpul.

“Mundur! Mundur!” kata sebuah suara. Sementara itu, seseorang berseragam dan mengenakan sarung tangan memasang pita berwarna kuning bertuliskan “DILARANG MELINTAS GARIS POLISI”

Seorang polisi bertanya kepada polisi lainnya, “Bagaimana?”

“Pertama-tama, kita harus selidiki pistol itu…”

Sementara itu di tempat lain, Anton dan Irfan sedang bercakap-cakap.

“Gak nyangka ya,” ujar Irfan.

“Iya. Ternyata dia nitip bayaran kosan itu karena ini,” kata Anton.

Suasana haru biru. Masing-masing dari mereka merasakan pilu, melepas kepergian sahabat mereka yang tiba-tiba.

Esok harinya, terdapat berita di sebuah koran lokal. Judul berita itu:

“Seorang Mahasiswa Bunuh Diri di Kamar Kos”

Membunuh Seekor Naga

Seekor naga hidup di puncak gunung. Hari ini, kami akan membunuhnya.

Naga itu sebenarnya tidak berdosa. Ia bukan naga yang suka makan orang dan menghancurkan desa seperti di dalam legenda. Bukan pula naga yang menculik putri kerajaan dan mengurungnya di puncak menara. Dia hanya seekor naga biasa.

Tapi sungguh, kami akan membunuhnya. Bukan karena kami benci padanya. Bukan pula untuk menjual bagian-bagian tubuhnya seperti pemburu yang membunuh gajah untuk mengambil gadingnya dan menjualnya di pasar gelap. Kami membunuhnya untuk mengambil empedunya.

Sudah seminggu ini adikku sakit. Sakitnya bukan sakit biasa. Tubuhnya berubah menjadi batu. Mula-mula kakinya, kemudian menjalar naik ke atas hingga ke pinggang. Hari ini, sudah separuh lebih tubuhnya menjadi batu. Kami sudah tak punya waktu lagi. Jika kami tak mendapatkan empedu naga dalam tiga hari, nyawa adikku tak bisa tertolong lagi. Ia akan menjadi patung batu selamanya.

“Pergilah ke puncak gunung di sebelah utara desa ini. Di sana seekor naga tinggal. Buas sungguh ia. Kekuatannya tak terperi, namun bukan berarti tak bisa mati. Berhati-hatilah, jangan sampai terbunuh olehnya.” ujar dukun sakti di desaku. “Yang kalian butuhkan adalah empedunya. Jika kalian ingin anak itu selamat, bawalah empedunya kepadaku. Akan kubuat ramuan dari padanya.”

Kami tak punya pilihan. Kami siapkan perbekalan. Kami kumpulkan tombak, pedang, dan panah. Selusin laki-laki dari desa kami berangkat, termasuk aku.

Sudah satu hari satu malam kami mendaki. Pagi ini kami akan sampai di puncak. Kabut masih belum terangkat ketika kami melipat tenda dan beranjak dari tempat kami bermalam.

“Lihat itu,” salah seorang dari kami menunjuk celah besar di antara bebatuan kapur.

“Itukah sarang naga?”

Kami tak bisa melihat apa yang ada di baliknya karena tertutup kabut, tapi tempat itu memang terlihat seperti sarang naga.

“Ayo,” ujar ayahku memberi komando. Ia mencabut pedang di pinggannya, diikuti oleh kami. Dengan perlahan kami melangkah hendak memasuki celah itu.

Tiba-tiba, terdengar suara perempuan diikuti anak panah yang melesat dan menancap di tanah tepat di depan ayahku. “Berhenti!” kata suara itu.

Kami melihat bayangan seseorang dari kejauhan. Seketika itu, matahari meninggi, kabut terangkat, tersingkaplah wujud asli bayangan itu. Seorang perempuan memegang sebuah busur. Dialah yang melepaskan anak panah itu. Di belakangnya terlihat seekor naga yang sedang tertidur.

“Mau apa kalian!”

“Kami ingin membunuh naga!”

“Tidak akan kubiarkan!” katanya. Perempuan itu melepaskan anak panahnya lagi yang nyaris mengenai orang yang berkata akan membunuh naga barusan.

“Dengar, nona. Kita bisa bicara…,” ayahku berusaha menengahi.

“Diam!” sanggahnya sambil melepaskan anak panah lagi. Hampir saja panahnya mengenai ayahku jika ia tidak gesit menghindar. “Kalian para manusia haus darah,” katanya, “tak akan kubiarkan kalian membunuh naga ini demi kepentingan pribadi kalian!”

Melihatnya menarik busur, kami berpencar mencari tempat berlindung. Anak panahnya melesat ke arahku, menggores kulitku hingga berdarah. Perempuan ini tidak main-main rupanya.

“Dengarkan kami dulu! Kami sedang berusaha menyelamatkan nyawa seseorang!” ujarku yang masih berusaha bicara dengannya. “Kami membutuhkan empedu naga itu untuk obat!” Aku bicara dari balik batu besar. “Jika kami tidak segera mendapatkan empedu naga, nyawa adikku tidak akan tertolong!”

“Itu benar, nona!” ayahku menambahkan. “Kami mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan nyawa orang lain! Adakah yang lebih berharga dari nyawa manusia?! Aku mohon, mengertilah!”

Suasana hening sejenak. Aku mencoba mengintip untuk melihat keadaan. Tapi baru sedikit saja kepalaku keluar, anak panah sudah melesat.

“Kalian manusia-manusia egois!” katanya, “Kalian menganggap tidak ada yang lebih berharga dibanding jenis kalian sendiri, padahal kalian dan naga ini punya nyawa yang sama. Jumlah kalian banyak, sementara naga ini hanya ada seekor. Atas dasar apa kalian menganggap nyawa kalian lebih penting ?! Naga ini tak pernah menghancurkan desa atau memakan manusia. Tapi sekarang kalian ingin membunuhnya!”

Sesaat aku terdiam oleh kata-katanya, tapi kemudian ayahku memperingatkanku, “Jangan dengarkan dia, nak! Kita sedang berusaha menyelamatkan adikmu!”

Tiba-tiba, terdengar suara gemerasak, disusul oleh suara kepakan sayap yang kencang, seperti suara layar kapal yang terkembang. Sejurus kemudian, terlihat bayangan besar di tanah. Ternyata di atas kami seekor naga melesat di atas kami.

Semua orang terperangah melihat sosok besar itu. Aku pikir yang namanya naga akan terlihat mengerikan, tapi kesan yang kutangkap adalah keanggunan. Seluruh tubuhnya ditutupi sisik berwarna putih keperakan. Cemerlang memantulkan sinar matahari yang jatuh di atasnya.

Dengan kepakan yang mengibaskan debu, ia mendarat di tengah-tengah kami. Ia melihat ke sekelilingnya. Sorot matanya yang tajam seolah berkata, ‘Siapa yang berani mengganggu tidurku!’. Ia mengarahkan lehernya yang panjang bagai ular raksasa itu ke atas dan mengeluarkan satu auman yang menggetarkan bumi.

“Tuan Naga!” ujar perempuan itu.

Ayahku memberiku isyarat untuk menjatuhkan sang gadis pemanah, sementara ia dan yang lainnya membunuh sang naga. Aku mengiyakan. Sambil berteriak untuk mendongkrak keberanian, aku berlari mendekati si pemanah dengan pedang di tanganku.

Di belakangku, sebelas manusia mengepung seekor naga. Aku tahu perempuan itu hendak menghentikan mereka dengan panahnya, namun ia tidak bisa mengabaikanku. Karena itu, ia mengarahkan busurnya ke arahku. Tanpa , ia lepaskan anak panah ke tubuhku.

Dalam adrenalin yang memuncak, waktu terasa melambat. Aku mengayunkan pedangku untuk menghalau anak panahnya. Berhasil.

Tapi perempuan itu segera mengambil anak panahnya yang kedua, dan akan menembakku dari jarak mati. Beruntung, aku lebih cepat. Kuarahkan ayunan pedangku ke busurnya untuk menggagalkan serangannya. Busur itu terlepas dari tangannya.

Rupanya ia masih memiliki senjata lain. Sebilah belati dicabutnya dari pinggang dan segera diayunkan ke kepalaku. Aku mengelak ke belakang. Nyaris saja belati itu menebasku mentah-mentah. Untungnya aku cukup gesit dan belati itu hanya menggores daguku.

Sementara aku dan perempuan penjaga sarang naga itu berhadap-hadapan dengan senjata di tangan, di belakangku sedang terjadi pertempuran sengit antara manusia dan naga. Terlihat dari sorot mta gadis itu, ia cemas akan nasib sang naga.

Rasa cemas itu segera berubah menjadi geram. Dengan penuh kemaran, ia mengayunkan belati di tangannya ke arahku. Berkali-kali ia menebas dan menikamku, berkali-kali pula aku berhasil menepis serangannya. Serangannya diwarnai kemarahan. Amarah yang timbul dari rasa cintanya pada naga itu.

Sesekali pedangku dan belatinya beradu. Seketika kukendurkan tekananku, ia segera mengambil kesempatan untuk menebasku. Tapi akibat jarak jangkau yang tak terlalu jauh, aku berhasil menghindari serangan-serangannya. Sambil berduel, sesekali kami bertukar kata-kata.

“Kenapa kau lakukan ini?! Kenapa begitu gigih melindungi naga itu?!”

“Memangnya kenapa?!”

“Dia hanya seekor hewan buas, sedang kami manusia, sama sepertimu! Saat ini adikku sedang dalam kondisi kritis. Kami membutuhkan empedu naga untuk menyelamatkan nyawanya! Mengertilah!”

“Hanya seekor hewan buas, katamu?! Ia seekor naga yang agung! Kalian? Kalian hanya monyet-monyet haus darah yang tak tahu diri! Kalian pikir kalian makhluk yang lebih tinggi dibanding Tuan Naga, hah? Kalian tak tahu apa-apa!”

“Alam mengajarkan kita memangsa yang lain untuk bertahan hidup! Tidak ada yang salah dengan itu!”

“Diam!”

Sementara itu, ayahku dan yang lainnya sedang berjuang menghadapi sang naga. Naga itu kini tidak mulus lagi, terluka di sana-sini. Darah mengucur di sela-sela sisiknya yang putih keperaakan. Bahkan seekor naga pun kewalahan jika dikepung banyak orang.

Tiap kali tombak dan pedang berhasil mendarat merobek kulitnya, naga itu menjerit. Bahkan dalam suara aumannya yang buas dan menggelegar, ada nuansa kepedihan di sana. Ia kesakitan.

Aku dan gadis itu masih terus berduel. Serangannya kini melambat, tanda ia mulai kelelahan. Aku masuk ke dalam jarak jangkaunya. Ia berusaha menebasku, tapi kelelahannya membuatku berhasil menangkap tangannya dan menghantam perutnya dengan gagang pedangku. Aku tak ingin membunuhnya.

Seiring aku menjatuhkan gadis itu, ayahku dan penduduk desa ikut berada di atas angin melawan sang naga. Kutahan tubuh gadis itu di tanah dalam keadaan telungkup. Ia meronta, namun tak kuasa melepaskan kuncianku. Ia hanya bisa menjerit dan menangis melihat Tuan Naga-nya rubuh.

Tak jelas bagaimana naga itu kalah, hanya terlihat punggung-punggung manusia dan darah segar yang muncrat seperti air mancur. Jeritan naga yang buas namun pedih menggetarkan hatiku.

Gadis yang sedang kukunci tubuhnya ini menyadari Tuan Naga-nya telah tiada. Ia tak lagi meronta, hanya bisa menangis terisak dengan tubuh yang lemas.

Sudah terlambat untuk merasa iba ketika para penduduk desa mulai merobek perut sang naga dan mengeluarkan isinya. Pemandangan yang memilukan. Seekor naga dibantai penduduk desa untuk diambil empedunya, dan hanya satu orang yang menangisinya.

“Ini dia!” ujar seorang penduduk desa yang menemukan empedunya.

“Kita berhasil!” kata seorang yang lain lagi. Mereka pun bersorak. Mereka telah berhasil membunuh seekor naga.

“Ayo nak, kita pulang!” kata ayahku sambil melambaikan tangannya. Kulepaskan kuncianku atas gadis itu. Ia yang sudah kehilangan semangat untuk melawan hanya terus menangis pilu. Kutinggalkan ia di sana.

Dengan empedu naga di tangan, aku, ayahku, dan yang lainnya pulang ke desa. Beberapa langkah berjalan, aku menoleh ke belakang. Kulihat gadis yang tak pernah kuketahui namanya itu menangis di samping tubuh sang naga.

Aku tidak tahu harus merasa bagimana. Kami baru saja membunuh naga yang entah ada berapa ekor jumlahnya di dunia ini. Kami membunuh satu jiwa untuk menyelamatkan jiwa yang lain. Aku melihat wajah ayahku yang penuh kemenangan. Tidakkah seharusnya aku juga merasakan hal yang sama?

Hingga sampai di desa, aku masih tak tahu, haruskah aku merasa bersalah atas terbunuhnya naga itu? Yang pasti, aku lega adikku bisa selamat. Meski bukan atas kemauannya sendiri, naga itu telah menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan adikku. Kuhembuskan nafas panjang dan bersamanya sebuah doa untuk Tuan Naga. Semoga arwahnya terbang menuju surga.

—–//—–

Sumber ilustrasi

Hero dan Anti-Hero dalam Fiksi dan Realitas

Siapa pahlawanmu?

Sebagian orang Indonesia mungkin akan menjawab ‘Bung Karno’, seorang Muslim akan menjawab ‘Rasulullah Muhammad SAW’, dan ada cukup besar kemungkinan kamu akan menjawab ‘Ibuku/Ayahku’.

Tapi apa, atau siapa, yang dimaksud dengan pahlawan?

Jika kita melihat kamus, kita akan mendapati kata ‘pahlawan’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘phala’ yang berarti ‘buah’ dan akhiran ‘-wan’ untuk menunjukkan orang/pelaku.  Pahlawan biasa dimaknai sebagai orang yang menonjol karena perjuangan dan pengorbanannya bagi bangsa, atau dalam membela kebenaran.[1]

Dalam dunia fiksi, istilah The Hero mengacu kepada tokoh utama atau protagonis dalam cerita, yang pada suatu ketika dalam hidupnya, ia menghadapi konflik dan mengalami perubahan nasib. Jika dunia fiksi tersebut adalah video game, maka pemain mengendalikan Sang Pahlawan hingga mencapai tujuannya, yang biasanya itu berarti menyelamatkan dunia dari sang penjahat (The Villain) yang ingin menguasai(atau menghancurkan) dunia.

Baik dalam kenyataan maupun cerita fiksi, kisah tentang pahlawan selalu melibatkan dua hal: keberanian dan pengorbanan diri untuk kepentingan orang banyak. Kenapa? Karena dua sifat tersebut akan membuat seseorang mengambil keputusan penting dengan tepat yang mengubah nasibnya, dan pada gilirannya akan menginspirasi orang lain. Keberanian membuat pahlawan menempuh yang nampaknya tidak mungkin di mata orang dewasa. Pengorbanan diri membumbungkan nilai diri seorang pahlawan hingga melebihi nilai orang biasa, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, ‘berguna bagi orang lain’.

Di era postmodern ini, ada kecenderungan untuk menampilkan tokoh protagonis yang jauh dari kesempurnaan. Tokoh utama yang berasal dari kalangan orang biasa dengan berbagai kekurangan dan keterbatasannya sudah tidak asing ditemui dalam novel maupun film. Dalam cerita yang lebih ‘berat’ atau ‘dewasa’, bahkan tokoh utamanya tidak selalu ‘orang baik’. Sang Pahlawan adalah seseorang dengan kepentingan tertentu, tidak punya niatan untuk melayani masyarakat, sinis, ingin membalas dengan, atau sifat-sifat yang secara moral tidak dapat dikatakan mulia. Dalam dunia fiksi, tokoh semacam itu diberi istilah Anti-Hero.

Dalam film Watchmen misalnya, hampir semua tokohnya merupakan Anti-Hero. Rorschach yang sinis kecewa pada Tuhan yang dianggapnya membiarkan kejahatan terjadi di muka bumi. The Comedian adalah seorang patriot dan di saat yang sama seorang durjana. Dr.Manhattan, yang memiliki kekuatan adimanusia, acuh tak acuh dengan konsep moralitas manusia dan menganggap nyawa manusia dan kehidupan di bumi tidaklah penting.

Terkadang, kepahlawanan dalam cerita yang sudah terkenal didekonstruksi hingga sang pahlawan tidak lagi menjadi pahlawan. Rama, dalam Ramayana, dilihat sebagai laki-laki yang egois karena mensyaratkan pembuktian penyucian pada Shinta. Yudhistira, si sulung dari kelima Pandawa, dianggap tidak bijak karena mempertaruhkan kerajannya dalam sebuah permainan dadu dengan Kurawa.

Adakah contoh dari dunia nyata? Cukup banyak, dan ini biasanya berkaitan dengan penulisan(baca: interpretasi) sejarah. Gajah Mada, bagi kerajaan Majapahit adalah pahlawan, namun bagi orang Sunda, Gajah Mada dan keseluruan Kerajaan Majapahit tidak jauh berbeda dengan penjajah. Contoh lain yang populer adalah kisah Si Pitung dari Betawi. Di satu sisi, ia adalah pahlawan rakyat ala Robin Hood yang mencuri dari Si Kaya untuk diberikan pada Si Miskin. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, yang dilakukannya adalah tindakan kriminal.

Ada semacam persetujuan bahwa kekurangan sang pahlawan, motivasinya yang tidak terlalu mulia, membuat sebuah cerita menjadi semakin realistis. Ketidaksempurnaan seorang tokoh, baik nyata maupun fiksi, selain membuat tokoh tersebut terasa lebih hidup, juga membuat pembaca merasa lebih dekat serta bersimpati kepadanya.

Tapi penulisan(dan pembacaan) semacam itu memiliki ‘efek samping’. Terlalu banyak berhadapan dengan sinisisme dapat membuat kita kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai kepahlawanan. Memang, kita tak boleh naif melihat realitas, namun melihat dunia secara sinis juga tak akan membuat kita bahagia, terlepas dari akurat atau tidaknya pandangan kita.

Di sini, saya ingin mengutip Habiburrahmah El-Shirazy. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta, Fahri digambarkan sebagai pribadi yang nyaris tanpa cela, hingga terkesan kurang realistis. Tapi, apa komentar pengarangnya tentang tokoh utama dalam novelnya itu? Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan:

“…bagiku, tokoh Fahri itu justru masih kurang sempurna. Harus aku sempurnakan lagi. Dia harus lebih berjiwa malaikat ketimbang yang sudah ada. Kupikir, orang-orang kita bangsa Indonesia ini menilai fahri terlalu sempurna, karena selama ini mereka tidak pernah disuguhi bacaan dan tontonan dengan kualitas perilaku seperti fahri …”[2]

Saya rasa pernyataan tersebut ada benarnya. Contoh lain, dari film The Dark Knight, ketika Joker ingin membuktikan bahwa manusia pada dasarnya jahat, ternyata terbukti sebaliknya. Tidak satupun dari penumpang di kedua kapal yang menekan tombol, yang akan mengakibatkan meledaknya kapal yang lainnya. Bahkan, salah satu dari kapal tersebut berisi tahanan kriminal, tapi itu tak menghentikan salah satu diantara mereka untuk mengambil detonator yang menentukan hidup mati mereka dan melemparnya ke luar jendela.

Kembali ke dunia nyata. Di luar dunia fiksi, tidak mudah menemukan sosok yang sempurna. Bahkan sosok yang di mata kita sempurna bisa jadi berbanding 180 derajat di mata orang lain. Tapi itu tidak penting. Bahkan, tidak penting tokoh yang kita idolakan itu sungguh-sungguh ada atau tokoh rekaan semata, karena keberadaan seorang pahlawan melampaui ‘realitas’. Pahlawan, nyata ataupun fiktif, adalah simbol harapan. Selama dia berhasil menghidupkan harapan orang banyak pada kebenaran, keberanian, dan kepahlawanan itu sendiri, maka keberadaannya ‘berguna’.

Maka, pilihlah pahlawanmu.


[1] Disadur dari entri dalam situs Wikipedia.

[2] Lihat buku Fenomena Ayat-Ayat Cinta oleh Anif Sirsaeba El-Shirazy

Lemah Hati


Menyesal itu tidak baik, tapi bohong namanya kalau aku tidak mengakuinya. Melihat ke belakang, betapa banyak hal-hal yang seharusnya aku lakukan. Pikiranku melayang menembus waktu yang tak mungkin diputar ulang. Seandainya dulu aku begini… Seandainya aku dulu melakukan itu…

Tidakkah sesekali kamu ingin membiarkan diri tenggelam dalam melankolia? Itu tidak boleh, tapi aku tahu betapa manusiawinya perasaan itu.

Ketika kamu menerawang masa lalu, dan mendapati hal-hal tak menyenangkan, bukan karena apa yang kamu lakukan, melainkan atas apa yang tidak kamu lakukan, kamu tahu, sebenar-benarnya tahu, bahwa tak ada sesiapa yang bisa disalahkan selain dirimu sendiri. Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk mengubah masa lalu, yang bisa kamu lakukan adalah membangun masa depan, hingga genap apa yang ditakdirkan-Nya untukmu.

Dan itu tidak selalu mudah.

Melihat orang-orang berlalu lalang, dengan wajah ceria, dan kamu tahu, kebahagiaan mereka bukanlah milikmu, adalah tidak mudah. Kamu ingin bahagia seperti mereka, tapi tidak bisa, karena masamu sudah lewat. Yang kamu miliki adalah puing-puing yang berserakan, berantakan, dan kamu tak tahu mana yang lebih dulu harus kamu bereskan.

Apakah ini yang dinamakan dengki?

Ya Allah, ternyata hati ini berpenyakit. Padahal tak semua hal layak untuk disesali. Bahkan hal yang layak disesali pun tak boleh disesali lebih dari porsinya.

*Menghela nafas panjang*

Terkadang, kegalauan begitu memikat. Cukup sudah. Aku mau jadi kuat.

Kebebasan dan Kebenaran

Jadi, di hadapanmu ada Kebebasan dan Kebenaran. Kamu harus memilih salah satunya.

Jika kamu memilih Kebebasan, maka kamu dipersilahkan mengusahakan apa saja demi kebahagiaanmu, tentu saja dengan mematuhi hukum sebab-akibat yang tidak tidak mungkin dipisahkan sebagai cara kerja alam semesta ini. Kamu bebas bermimpi, berpikir, dan berbuat. Kamu bebas mengimajinasikan Tuhan, kamu bebas beribadah kepadanya dengan cara yang menurutmu baik, bahkan kamu bebas untuk tidak beribadah. Kamu juga bebas memegang prinsip moralitas apa saja yang kamu pandang menguntungkan bagi dirimu dan orang lain. Hanya saja, jika kamu memilih Kebebasan, tidak ada yang bisa menjamin keselamatanmu di kehidupan yang akan datang setelah kamu dibangkitkan kembali dari kematian. Oh, tentu saja kamu bebas untuk tidak percaya akan hal itu.

Jika kamu memilih Kebenaran, maka kamu akan diberikan seperangkat aturan yang harus kamu jalankan seumur hidup. Kamu harus menjalankan ibadah secara rutin dan menyerahkan sebagian hartamu secara berkala. Terkadang kamu juga harus berbuat hal yang dipandang tidak lazim bagi kebanyakan orang. Sangat mungkin kamu akan dianggap aneh, dibenci, atau terkucil dari pergaulan, dan kamu harus tetap seperti itu hingga ajal menjemputmu. Dalam banyak hal, kamu harus menahan diri. Ada hal-hal yang sudah dianggap sebagai kewajaran di masyarakatmu, yang harus kamu tinggalkan, yang mungkin akan terlihat seperti menyempitkan kesempatan perekonomianmu atau apresiasi senimu. Beberapa aturan yang ada mungkin akan terdengar tidak masuk akal bagimu, atau sulit diterima perasaanmu, tapi bagaimanapun juga tetap harus kamu jalankan. Nikmatilah segala ketidakbebasanmu hingga ajal menjemputmu. Tapi tenang, dengan memilih Kebenaran, keselamatanmu di kehidupan selanjutnya akan terjamin.

Tidak, kamu tidak bisa memilih dua-duanya.

Jika kamu dalam keraguan, kamu bisa mulai dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini pada dirimu sendiri:

Apakah Kebenaran itu nisbi bagimu, ataukah Kebenaran ada di luar sana, dan kamu hanya belum mendapatkannya?

Sudahkah kamu benar-benar mencarinya?

Sungguh?

Jika kebenaran hadir di depan matamu dalam bentuk yang tidak kamu sukai, akankah kamu tetap menerimanya sebagai Kebenaran?

Sudah cukup kusampaikan. Silahkan pilih satu dan tinggalkan yang lain. Cepat, waktumu terbatas.

Risalah

Sekuntum pagi dan semerbak mentari.

Bahwa alam ini akan berakhir, dan semua manusia akan mati, adalah benar adanya. Sama benarnya dengan kabar tentang Hari Kebangkitan. Siapalah kita, yang hendak jadi tuhan. Tuhan-tuhan kecil yang sombong dan tak tahu diri. Sungguh, anthroposentrisme adalah racun hati.

Kita membangun peradaban. Bangunan didirikan, karya seni dibuat, falsafah disebarkan, dan rahasia alam diungkap. Tapi kita tutup rapat telinga dari kabar tak menyenangkan, bahwa semua itu sia-sia, karena segala sesuatu tak ada artinya jika kita mengingkari-Nya.

Alam bukan tuhan. Manusia apalagi. Tapi kita tak bosan mencari, seolah masih ada kebenaran hakiki yang tersembunyi. Cobalah sesekali kita tanyakan pada diri sendiri, apa jadinya jika kebenaran telah datang, dan kita hanya enggan mendengar, malah menuruti kata hati untuk mencari yang lain.

Kita pun bersembunyi di balik selimut relativisme. Segala sesuatu benar untuk dirinya sendiri, dan tak ada yang boleh menghakimi. Lantas di manakah kebenaran? Adalah bohong jika dikatakan semua(agama) adalah jalan menuju Tuhan Yang Satu, karena siapapun yang berkata seperti itu jelas belum pernah bertemu dengan Tuhan Yang Satu itu, alias mati.

Dan kita pun ‘membunuh’-Nya.

Nietzsche hanya mendeklarasikan kematiannya, pada suatu hari di Jerman abad ke-19, dari balik kumis tebalnya yang khas. Maka hari ini para atheis jadi pahlawan yang membebaskan, karena aturan Tuhan tak lagi dianggap relevan. Singkat cerita, manusia menggagas sekularisme. Ketika hal tersebut jadi norma, penanda ‘modernitas’ (apapun artinya itu), atau bahkan menjadi ‘akal sehat’ itu sendiri, maka ‘kesombongan’ tertutup oleh facade yang disebut ‘kemanusiaan’ hingga sulit untuk dibedakan.

Kecuali dengan Kitab-Nya.

Serta sabda utusan-Nya.

Yang tak selalu masuk akal, karena apatah ‘akal’ itu sendiri? Menurut akal, kebenaran kemarin tak sama dengan kebenaran hari ini, begitu pula dengan kebenaran esok hari. Akal senantiasa berubah, atau dengan bahasa yang lebih enak didengar, berkembang. Akal tidak konsisten, karena memang tidak didesain untuk konsisten. Akal yang tak konsisten itu tak memiliki kekuatan untuk menjadi tuan. Karena itu, disadari atau tidak, ia senantiasa jadi budak hawa nafsu yang ingin menang sendiri.

Maka kita perlu memeriksa kembali, ber-tabayyun dengan diri sendiri. Boleh jadi bukan ajaran agamamu yang sempit, tapi hatimu sendiri. Mungkin dunia dan perhiasannya telah menjadikan hatimu “…keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Q.S. 2:74), hingga engkau ingin menangis namun tak ada apapun yang menetes di pipi.

Sungguh, dunia dan segala isinya adalah fatamorgana. Maha Besar Allah yang telah membuatnya nampak begitu nyata.

 

Suatu fajar di bulan Juli tahun 2012

Harun Suaidi Isnaini