Kehendak Bebas, Takdir, dan The Matrix

Oracle   : I’d ask you to sit down, but, you’re not going to anyway. And don’t worry about the vase.

Neo        : What vase?

[Neo turns to look for a vase, and as he does, he knocks over a vase of flowers, which shatters on the floor]

Oracle   : That vase.

Neo        : I’m sorry…

Oracle   : I said don’t worry about it. I’ll get one of my kids to fix it.

Neo        : How did you know?

Oracle   : Ohh, what’s really going to bake your noodle later on is, would you still have broken it if I hadn’t said anything?

Salah satu topik yang tidak ada habis-habisnya dibahas dalam dunia filsafat adalah kehendak bebas (free will). Di satu sisi, kita merasa memiliki kebebasan menentukan apa yang kita lakukan dengan tubuh kita. Di sisi lain, segala sesuatu nampak begitu pasti, khususnya yang berkenaan dengan hukum alam.

Pertanyaan tentang kehendak bebas selalu mengganggu karena berkenaan dengan individualitas, atau dengan kata lain ‘siapa saya’. Bukankah individualitas ditentukan dari pilihan bebas kita? Bukankah hanya ketika seseorang memilih dengan bebas, dia bertanggung jawab atas pilihannya? Jika tidak ada kehendak bebas, maka seorang pembunuh sadis pun sebenarnya hanya memainkan peran yang telah ditentukan sebelumnya.

Jika kita percaya bahwa terdapat kepastian dalam hukum alam, maka sebenarnya kita tidak punya kehendak bebas. Kehendak bebas hanyalah ilusi. Alam raya ini ibarat jam besar, dimana big bang merupakan permulaan yang menggerakkan semuanya. Kita adalah bagian dari proses besar itu. Kita tidak lepas dari hukum fisika. Sejumlah elektron bergerak di dalam otak kita melalui serangkaian jaringan syaraf, memerintahkan kita untuk berpikir, bergerak, dan merasakan. Dari sudur pandang ini, dapat dikatakan bahwa hukum alam adalah representasi dari takdir.

Argumen dari Fisika Kuantum

Tunggu dulu, bagaimana dengan fisika kuantum? Bukankah fisika kuantum telah membuktikan bahwa hukum alam tidak benar-benar pasti (deterministis)? Bukankah segala sesuatunya mungkin (probabilistis)? Michio Kaku mengatakan bahwa selalu ada ketidakpastian dalam hukum fisika. Suatu partikel subatom bergerak tanpa bisa diprediksi, seolah tidak ada hukum alam yang mengaturnya, bahkan dapat berada di dua tempat secara bersamaan. Adakah ini semacam konfirmasi untuk kehendak bebas? Bukankah kehendak bebas kita rasakan nyata karena adanya ketidakpastian tentang apa yang terajadi?

Saya katakan,tidak.

Kenapa tidak? Karena itu hanya membuktikan suatu bentuk ke-acak-an (randomness), dan bukan ketiadaan kepastian. Juga, sangat mungkin keacakan itu disebabkan ketidakmampuan kita untuk memastikannya. Jadi, ketidakpastian tersebut ada bukan karena sesuatu benar-benar tidak pasti, melainkan karena nampak tidak pasti dari sudut pandang kita sebagai manusia.

Menurut saya, kehendak bebas muncul dari ketidaktahuan. Karena kita tidak tahu, maka apa yang terjadi sekian saat ke depan menjadi tidak pasti. Namun, betapapun segalanya tidak pasti, ada sesuatu yang pasti, yaitu kejadian yang sudah terjadi. Jika Anda dihadapkan pada dua pilihan, A atau B, apapun yang tidak Anda pilih tidak terjadi. Jadi, meskipun sebelum Anda memilih ada semacam ketidakpastian, pada akhirnya ada sesuatu yang pasti terjadi. Ketidakpastian hanya nampak ketika kita mencoba menerawang ke masa depan, tapi tidak ke masa lalu.

Ilusi Waktu dan Analogi Program Komputer

Neo        : But if you already know, how can I make a choice?

Oracle   : Because you didn’t come here to make the choice, you’ve already made it. You’re here to try to understand *why* you made it. I thought you’d have figured that out by now.

Jika ada entitas lain selain diri kita yang mengetahui pilihan apa yang akan kita ambil, maka dengan sendirinya kehendak bebas kita jadi tidak berarti. Entitas itu haruslah entitas yang lebih tinggi dari manusia, sebagai yang memilih. Karena manusia dan manusia lain paling jauh hanya bisa saling memprediksi satu sama lain. Hubungan kita dan entitas tersebut ibarat program dan programmernya. Tentu saja sang programmer tahu apa yang akan dilakukan oleh program buatannya, karena ia yang menulis tiap baris kode-nya. Jika Anda percaya, Anda dapat katakan programmer itu adalah analogi untuk Tuhan, dan kita adalah program ciptaan-Nya.

Tidak bisa tidak, ilusi kehendak bebas juga datang dari pemahaman kita terhadap waktu. Apa itu waktu? Waktu adalah rangkaian kejadian demi kejadian yang tak memiliki batas pasti (indefinite), atau dengan kata lain sekumpulan keberadaan, yang terjadi tanpa bisa dimundurkan (irreversible). Baik sains maupun filsafat tidak memiliki penjelasan yang pasti tentang apa yang disebut dengan ‘waktu’. Lima abad sebelum masehi, Antiphon, seorang filsuf Sophist dari Yunani, megatakan bawa waktu tidaklah real. “Time is not a reality (hypostasis), but a concept (noêma) or a measure (metron),” ungkapnya.

Sebagaimana kita merupakan bagian dari alam, kita pun tidak lepas dari penjara bernama waktu. Kita ada di dalam-nya, tanpa pernah bisa keluar. Karena itu, persepsi kita, termasuk ketidaktahuan dan ketidakpastian yang kita rasakan, juga merupakan akibat dari keberadaan kita di dalam waktu. Jika kita kembali ke analogi progam dan programmer, kita dapat membayangkan kita sebagai serangkaian kode yang sedang dijalankan. Bagi sang programmer yang mengetahui apa saja yang akan dilakukan oleh program buatannya, tidak ada bedanya apakah saat ini program tersebut sedang berjalan di bagian awal atau akhir karena, jika kode program tersebut sempurna, dan tidak ada masalah pada komputer, seluruh program tersebut akan berjalan, atau dengan kata lain, program tersebut akan ‘memenuhi takdirnya’. Selama programnya berjalan, sang programmer mengamati bagaimana program buatannya berjalan di dalam waktunya sendiri.

Tanggung Jawab Moral

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, keberadaan kehendak bebas memiliki implikasi pada tanggung jawab moral. Kita membuat pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi. Anda dapat memilih untuk menerobos lampu merah, dan untuk itu polisi lalu lintas berhak menilang Anda jika Anda memilih untuk melakukannya. Jika kehendak bebas tidak ada, maka Anda seharusnya tidak ditilang karena menerobos lampu merah. Anda hanyalah bagian dari proses alam. Hukum alam-lah yang membuat Anda melakukannya. Kalau Anda tidak bisa menjelaskan secara fisika, jelaskan saja semuanya sebagai bagian dari hukum sebab-akibat. Tindakan Anda menerobos lampu merah adalah akibat dari sebab tertentu, misalnya karena jalanan sedang kosong (atau, seperti di sebuah iklan rokok, “Kan gak ada yang jaga…”).

Benarkah demikian adanya?

Jawabannya, ya dan tidak. Ya, karena bagaimanapun kita tidak bisa menafikkan kenyataaan bahwa kita adalah bagian dari hukum alam. Tidak, karena kenyataan bahwa kita hanya memainkan proses sebab-akibat tidak menggugurkan tanggung jawab moral kita.

Pertama, kita amini dulu bahwa semua yang ada di dunia ini berjalan mengikuti hukum sebab-akibat yang universal. Selanjutnya, kita melakukan sesuatu yang, menurut konvensi setempat, adalah tindakan yang kurang bermoral. Kemudian, kita mendapat hukuman. Kenyataannya, kita memang pantas dihukum justru dalam rangka memenuhi hukum sebab-akibat yang universal tersebut. Dengan dijalankannya sistem peradilan justru kita sebagai manusia sedang mendemonstrasikan hukum sebab-akibat di tingkat individu.

Lalu, apakah jika tidak ada hukuman, itu artinya hukum sebab-akibat menjadi runtuh? Tidak. Dia hanya tidak terjadi di tingkat person (orang, manusia), namun tetap terjadi di tingkat yang lebih mendasar lagi. Misalnya, tetap ada perasaan bersalah, atau kredibilitas kita sebagai manusia berkurang, dan kita kehilangan kerpercayaan orang lain.

Kehendak Bebas: Ilusi yang Nyata

Sejauh ini, kesimpulan yang bisa saya ambil adalah bahwa kehendak bebas adalah ilusi sekaligus kenyataan. Sebagai ilusi, dia tidak benar-benar ada, dalam artian bahwa diri kita, termasuk pilihan-pilihan kita, hanyalah bagian dari hukum alam yang universal. Sebagai kenyataan, adalah bahwa kita tidak bisa lepas darinya, bahkan setelah mengetahui adanya hukum alam yang mengatur segala tindakan kita.

Jadi, kehendak bebas dan takdir tidak saling menghilangkan satu sama lain. Keduanya ada dan nyata.

“Neo, sooner or later you’re going to realize just as I did that there’s a difference between knowing the path and walking the path.” –Morpheus (The Matrix)